Indonesia merupakan surga
tersembunyi yang menjadi paru-paru dunia. Hal itu dulunya menjadi suatu pujian
yang membanggakan bagi bangsa Indonesia, namun entahlah mungkin hal itu hanya
menjadi kenangan indah masa lalu. Mungkin terdengar
seperti kisah cinta romantis yang penuh ironi, benar kenyataannya, Indonesia
sudah tak seindah dahulu dimata dunia. Tingkat korupsi yang tinggi bahkan bisa
dibilang “budaya korupsi’ yang merajalela membuat rakyatnya “mati diatas
lumbung padi”. Indonesia yang dulunya sempat mengalami swasembada beras kini harus makan dengan beras import mahal yang sebenarnya Indoneisa memiliki tanah begitu luas.
Sayangnya, di tanah yang begitu luas, sebagian besar wilayah Indonesia sudah
dikuasai pihak asing. Meski tak lagi mengalami kerja rodi dan romusha seperti
jaman penjajahan, namun kemerdekaan rakyat miskin masih saja ada. Rakyat miskin
menjadi “babu” di negaranya sendiri, di Negara yang sudah merdeka.
Dahulu,
dahulu sekali tepatnya 17 agusuts 1945 Indonesia memproklamirkan diri terbebas
dari jajahan Negara manapun ditengah pecahnya perang dingin (Perang Dunia II).
Indonesia dibawah pimpinan sosok Presiden yang gagah dan pemberani, Soekarno
-salah satu pejuang kemerdekaan- Indonesia mampu memperoleh perhatian dunia
melalui gerakannya -Non Blok- dengan mengadakan Konferensi Tingkat Tinggi
Asia-Afrika (KTT Asia-Afrika) di Bandung saat itu. Dengan kemampuannya, beliau
mampu membuat Indonesia yang baru
merdeka menjadi dipandang keberadaannya oleh dunia. Kemudian, 1967 usai
lengsernya Presiden Soekarno dengan ditolaknya pertanggung jawaban oleh MPRS
dan diangkatnya Presiden Soeharto sebagai Presiden Kedua Indonesia yang
memimpin Indonesia dengan jangka waktu terlama, 32 tahun. Selama masa
kepemimpinannya dengan Repelita (Rencana Pembangunan Lima Tahun) dan berbagai
strategi kepemimpinannya beliau mampu membuat rakyat makmur selama
bertahun-tahun. Sayangnya, beliau membiarkan Indonesia berhutang dengan luar
negeri hingga akhirnya Indonesia mengalami Krisis Moneter di periode
Kepemimpinan berikutnya. Selain itu, Soeharto yang merupakan mantan Jenderal
TNI menerapkan sistem pemerintahan Otoriter sehingga semua ruang gerak rakyat
dibatasi serta tak adanya transparansi dari pemerintahan. KKN ada dimana-mana
bahkan tumbuh subur seperti dipupuk dan disemai. Pada masa Orde Baru tersebut
HAM tidak begitu dihargai, barang siapa bersuara (berlawanan dengan
pemerintahan) dianggap sebagai musuh Negara dan harus dibinasakan. Mirisnya,
hal tersebut terjadi secara besar-besaran saat 1998 yang mengakibatkan
meninggalnya aktivis (kampus) sebagai hasil kekejaman rezim Soeharto.
Selanjutnya,
21 Mei 1998 Soekarno diturunkan dari jabatannya oleh Mahasiswa (yang dulunya
mengangkat beliau menjadi Presiden) dengan pengunduran dirinya dan Presiden
Indonesia ketiga akhirnya dilantik. Sebagai wakil Presiden, Prof. Dr. Ir. Burhanudin
Jusuf Habibie (BJ Habibie) naik menjadi Presiden RI Ke-3. Masa kepemimpinannya
hanya berlangsung selama satu setengah tahun. Namun, pada masa pemerintahannya,
lahir peraturan yang mendasar seperti kebebasan berpendapat yang seakan
berbanding terbalik dengan Soeharto yang membredel banyak Media Massa yang
membantah Pemerintahannya. Lalu, 1999 melalui Pemilihan Umum oleh DPR maka
terpilihlah KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai Presiden Ke-4. Pada masa
itu, beliau memberikan kebijakan untuk memberi ruang bagi orang maupun
keturunan Tionghoa sehingga beliau dikenal dengan sebutan Bapak Pluralisme dan
satu-satunya Presiden yang memberikan libur paling lama selama Ramadhan (1
Bulan penuh). Namun kondisi kesehatan
beliau yang tidak memungkinkan untuk melanjutkan tugas kepemimpinannya, maka
naiklah sang darah keturunan Soekarno (anak Kandung Soekarno), Ibu Megawati
Soekarno Puteri yang menjadi satu-satunya Presiden Wanita di Indonesia, 2001.
Beliau memimpin Indonesia hingga September 2004 dan dikalahkan melalui Pemilu
secara langsung oleh rakyat oleh Partai Demokrat dengan Presiden yang diusung,
Susilo Bambang Yudhoyono. Rasa kekalahan tersebut seakan menyebabkan seakan
terlihat adanya dendam kesumat dihati sang Presiden Wanita hingga jarang sekali
anatara keduanya bertemu. Bahkan, saat upacara peringatan kemerdekaan RI Ibu
Mega biasanya melakukan upacara di kediamannya atau di sekretariat PDI-P bukan
lagi di Istana Negara meski tetap menjadi undangan sang Presiden. Setelah tiga
kali mengalami masa kepemimpinan presiden yang singkat, akhirnya 2004 hingga
2014 Indonesia dipimpin sosok Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang dulunya juga merupakan anggota TNI.
Selama masa kepemimpinannya, dinamika dan polemik begitu banyak terjadi. Namun
salah satu sisi positifnya, lahirnya KPK sebagai wadah yang mempelajari kasus
korupsi serta menjadi pihak resmi yang berwenang melakukan penangkapan bagi
pelaku Korupsi di Indonesia. Berbeda dengan masa pemerintahan terdahulu yang
tak mempermasalahkan korupsi secara mendalam, pada masa pemerintahan SBY siapapun harus disidik apabila
terindikasi melakukan korupsi. Cerita singkat masa kepemimpinan Presiden
Indonesia dapat dibilang sebagai cerminan diri agar bangsa Indonesia terus
berbenah diri. Tak perlu melakukan hal besar, mulai saja dari yang sederhana
saja. Belajarlah jujur dan mencintai apa yang kita punya. Indonesia ada di
tangan kita, bukan ditangan mereka para elit politik busuk yang mementingkan
kepentingan golongan diatas kepentingan Negara. Untuk sekedar intermezzo dengan
pandangan saya, maka saya akan memaparkan pendapat saya lebih jauh mengenai
masalah kepemimpinan di Negara ini.
Enam
kali berganti Presiden tidak membuat Negara yang akan segera merayakan
kemerdekaannya Ke-69 17 Agustus mendatang –Indonesia- menjadi jera. Sistem
demokrasi yang ada mengharuskan mengadakan Pemilu lima tahun sekali. Tahun ini,
2014, menjadi kali ketiga dilaksanakannya Demokrasi secara langsung (oleh, dari
dan untuk rakyat) melalui pemilu langsung yang dipilih oleh rakyat. Pun tiga
kali sudah digelar, kekurangan disana-sini masih dirasa banyak, apalagi
kecurangan. Pemilihan Legislatif (Pileg) yang berlangsung pada 9 April 2014
sudah berlalu dan memunculkan babak baru, Partai pemenang Pileg berhak
menentukan Calon Presiden yang akan maju di Pemilihan Presiden (Pilpres) 9 Juli
2014 mendatang. Koalisi partai terus terjadi, entah atas dasar apa mereka
melakukan koalisi. Namun jika ditanya, jawabnnya pastilah untuk Negara ini.
Kepentingan Negara diatas kepentingan golongan
itu sepertinya hal tabuh dewasa ini. Semua melakukan pencitraan agar
Bakal Calon Presiden (Bacapres) dan wakilnya yang dipilih dengan mengawinkan tujuan
melalui koalisi dapat terpilih di Pilpres mendatang.
Mengusik
masalah kepemimpinan, bukan hanya sekarang, pada masa keenam Presiden kita
terdahulu pun (termasuk SBY) tidak serta merta naik dengan mudah menjadi Presiden.
Adanya politisasi segala macam hal dan permainan elit politik lahir, tumbuh dan
berkembang. Kesengsaraan, dan kemiskinan masih menjadi PR besar bagi bangsa
ini. Perpecahan akibat isu SARA tumbuh subur di Poso dan wilayah lainnya
diseluruh penjuru negeri. Mungkin Presiden terlalu sibuk, sehingga
ditengah-tengah konflik yang berkepanjangan kepentingan politik masih
diutamakan. Maklum, diantara para Presiden ada yang usungan partai, atau
sekedar permainan politik untuk mempertahankan kekuasaan. Tidak menyalahkan
mereka, namun tak pula membenarkannya. Sebagai warga Negara, tugas Bela Negara
ada ditangan tiap-tiap Warga Negara Indonesia dimana pun berada. Jangan
salahkan kami, kaum minoritas yang menuntut hak keadilan, bukan malah wakil
rakyat yang sudah mampu mewakili rakyat dengan baik. Rakyat ingin kaya, sudah
diwakili. Rakyat ingin sejahtera dan berpendidikan pun sudah diwakili para
wakil rakyat. Nah, lalu kenapa saya menuliskan ini? Entahlah, saya hanya
seorang Jurnalis kampus, saya tidak takut akan tekanan tapi saya masih
memikirkan keluarga saya. Mungkin kejadian 1998 secara terang-terangan tidak
akan lagi terjadi, namun hal tersebut masih akan terus terjadi ketika mulut
mengatakan apa yang dilihat mata, didengar telinga dan dirasakan dari hati
tentang negeri ini, negeri kaya ditengah tangan perampok. Negeri yang tergadai.
Melanjutkan
isu Pilpres, sekarang bulan Mei, itu artinya tidak sampai 2 bulan lagi kita
akan memilih sang pemilik Hak Eksekutif di Negeri pemilik asap yang mengganggu akibat rakusnya
manusia di tanah ini. Ya, saat ini ada dua nama calon penerus pemerintahan
SBY-Budiono (yang entah apa tugasnya selama 5 tahun ini) yang kemungkinan maju
di Pileg mendatang. Jokowi-JK sapaan akrab bakal calon Presiden dan Wakil
Presiden yang diusung partai PDIP dan para partai koalisinya dan Prabowo-Hatta
yang diusung Gerindra. Jokowi, sang Walikota Solo yang maju di Pilkada DKI
Jakarta dan Oktober 2012 lalu dilantik sebagai Gubernur DKI Jakarta didampingi
Ahok sebagai wakilnya. Belum dua tahun masa kepemimpinannya yang
digadang-gadang “blusukan”, ia menerima tawaran Kursi Presiden dari sang Ketua
Umum PDIP yang juga mantan Presiden.
Lalu, melalui diskusi yang mengeluarkan nama JK dari PKB sebagai Wakil dari
Jokowi menimbulkan banyak spekulasi. Ditengah-tengah majunya pasangan ini
terkuak isu SARA yang menyebutkan bahwasanya Jokowi merupakan seorang Chinesse yang beragamakan Kristen dan
menjanjikan Kristenisasi untuk Rakyat Indonesia apabila ia terpilih. Seperti yang
kita ketahui, beliau merupakan seorang Muslim meskipun kepatuhannya beribadah
pun diragukan. Terbukti saat ia melakukan sidak di salah satu kantor Dinas di
Jakarta saat Sholat Jumat yang seharusnya Jokowi berada di Masjid bukan malah
“mencak-mencak” saat pegawainya sedang berisitirahat dan bukan membolos dari
tugas kantor. Mengenai kebenaran masalah Sholat Jumat ini saya membaca sendiri
berita ini di salah satu media online dan mengenai isu sara tersebut saya tahu
dari Broadcast Blackberry Messenger.
Bukan hanya itu, sebagai alibi untuk meyakinkan kebenaran atas hal itu, ada
pula rekaman Jokowi yang kagok menjawab tentang pertanyaan yang mendasar
tentang Islam kepada sang Gubernur. Memang terdengar tidak etis, isu SARA
diangkat kepermukaan sebagai sarana menjatuhkan Jokowi tapi ini benar terjadi.
Tinggal bagaimana kepandaian kita menilai pribadinya. Saya hany mengulik isu
yang dihadapi Jokowi saja yang menurut saya menarik untuk ditelaah atau sekedar
dilewatkan oleh orang lainnya.
Kemudian,
calon satunya yakni Prabowo-Hatta. Kalau calon yang satu ini ada juga isu yang
dikembangkan di Publik untuk menjatuhkan pasangan ini. Seperti halnya
kelemahan-kelemahan Prabowo dibanding Jokowi yang beredar di Broadcast Blackberry Messenger. Salah
satu hal lucu, namun ada pula yang versi menghina tentang Prabowo yang masih “jomblo”. Dalam pesan yang saya baca
tersebut menyebutkan bahwa keberadaan
sang istri yang tak jelas. Lalu, pada masalah besarnya –isu 1998- yang terus
menyebutkan bahwa Prabowo sebagai otak dari terjadinya kekejian dimasa itu.
Sedangkan di pengadilan sudah menyatakan bahwa Prabowo tak bersalah.
Entahlah,
yang satu SARA dan satunya HAM. Siapa
yang mau hak pilih ini menjadi salah dan tak bermanfaat. Jangan buat pilihan
ini tergadai diatas kepentingan politik. Indonesia butuh pemimpin yang bisa
menjadikan negeri ini semakin baik dan terus mengalami perbaikan dan revolusi
karakter. Sosok yang bisa mencetak generasi emas untuk kemajuan bangsa ini.
Siapapun dia, yang terpenting sosoknya bisa memimpin Negeri “mahsyur” ini bukan
“menggadaikan” dan menjual emas diatas tanah berlumpur.
Palembang, 24 Mei 2014
(untuk selekasi Workshop Sejuk.org)