Mesin Penterjemah

Dinamika dan Perkembangan Pers Dewasa ini


Kemerdekaan Negara Republik Indonesia (NKRI) secara de facto atau memproklamirkan diri pada 17 Agustus 1945 usai Jepang mengalami kekalahan dan porak-porandanya Hiroshima dan Nagasaki oleh Bom Atom Amerika Serikat. Hal ini menjadi sejarah awal merdekanya Republik ini secara mandiri dan tanpa terikat oleh Negara mana pun yang ingin menjajah Indonesia (lagi). Selain perjuangan secara politik, peperangan, serta perlawanan untuk merebut kemerdekaan peran pers juga sangat mempengaruhi berita kemerdekaan. Jauh sebelum mendekati masa-masa kemerdekaan, banyak wartawan yang diculik dan diasingkan setelah menuliskan tulisan yang kontra terhadap penjajah. Hal ini tak mengurungkan niat para wartawan untuk tetap memberitakan secara independen hingga pada 17 Agustus 1945 semua terbayar dengan beredarnya berita bahwa akan dilaksanakan Proklamir Kemerdekaan RI pada Jumat 17 Agustus 1945 di jalan Pegangsaan Timur 56. Tersiarnya berita tersebut melalui kantor berita Domei (ANTARA) merupakan salah satu peran wartawan dalam kemerdekaan Indonesia hingga seluruh rakyat Indonesia dapat menyaksikan dan mendengarkan hal tersebut baik secara langsung maupun melalui radio. Berita ini beredar cepat dan membuat kebahagiaan rakyat Indonesia tak terbendung lagi.
Kemerdekaaan Indonesia sudah memasuki usia ke-69 tahun, pun  perkembangan pers Indonesia sejak  awal kemerdekaan sangatlah penting. Bahkan kalau mengingat sejarah, 20 Mei 1908 sebagai bukti bangkitnya gerakan pemuda Indonesia yang dimotori 3 serangkai, satu diantaranya, Dowes Dekker yang bukan darah pribumi asli merupakan seorang wartawan. Memang tak dapat dipungkiri peran pers dan pewarta sangat membantu dalam segala hal termasuk bukti sejarah yang hingga detik ini  masih bisa kita saksikan melalui tulisan-tulisan di media cetak masa lampau. Membahas hal ini tak akan ada habisnya karena begitu banyak hal yang terjadi di dunia pers selama awal kemerdekkan RI, melompat ke Orde Lama dibawah pimpinan Presiden Soeharto perkembangan pers mengalami tekanan luar biasa, tulisan yang tidak memihak pemerintah tidak akan naik ke media massa. Pemerintah yang cenderung otoriter mengakibatkan kebebasan pers dibatasi disana-sini. Namun hal ini tak mengecilkan semangat dari wartawan meski akhirnya banyak media yang di bradel. Selain media massa, peran pers kampus pun tak kalah kuat. Di kampus-kampus Universitas di Indonesia pun lahir pers mahasiswa sebagai sarana media informasi dan control social terhadap petinggi Universitas dan kehidupan kampus. Hingga masa itu datang, reformasi. Turunnya PResiden Soeharto oleh Mahasiswa pada 21 Mei  1998 menjadi titik balik bagi kebebasan pers secara utuh. Diangkatnya Wakil Presiden, B.J. Habibie menggantikan Posisi presiden Soeharto membuat begitu banyak perubahan, satu diantaranya lahirnya Undang- Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang pers, mencakup jaminan dan perlindungan hukum serta tidak adanya campur tangan atau paksaan dari pihak mana pun terhadap pekerjaan pers. Dengan adanya Undang- Undang tersebut kebebasan berpendapat yang bertanggung jawab bisa menjadi badan hukum bagi wartawan untuk tetap menulis berita meski kontra terhadap pemerintah demi lahirnya berita yang independen. Selain Undang- Undang sebagai dasar hukum, wartawan Indonesia pun memiliki Kode Etik Jurnalistik yang harus dipatuhi sebagai wartawan professional. Kode Etik Jurnalistik (KEJ) Kemerdekaan berpendapat, berekspresi, dan pers adalah hak asasi manusia yang dilindungi Pancasila,UndangUndang Dasar 194, dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia PBB. Kemerdekaan Pers adalah saran masyarakat untuk memperoleh informasi dan berkomunikasi, guna memenuhi kebutuhan hakiki dan meningkatkan kualitas kehidupan manusia. Dalam mewujudkan kemerdekaan per situ, wartawan Indonesia juga menyadari adanya kepentingan bangsa, tanggung jawab social, keberagaman masyarakat, dan norma- norma agama. Dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban dan peranannya, pers menghormati hak asasi setiap orang, karena itu pers dituntut professional dan terbuka untuk dikontrol oleh masyarakat. Untuk menjamin kemerdekaan pers dan memenuhi hak public untuk memperoleh informasi yang benar, wartawan Indonesia memerlukan landasan moral dan etika profesi sebagai pedoman operasional dalam menjaga kepercayaan public dan menegakkan integritas serta profesionalisme. Atas dasar itu, wartawan Indonesia menetapkan dan menaati Kode Etik Jurnalistik. KEJ yang berisi 11 pasal ini menjadi jaminan lain yang harus dipatuhi  dan memperjuangkan hak-hak wartawan itu sendiri maupun masyarakat.

Pada dasarnya pers ada bukan untuk merugikan satu pihak melainkan memunculkan kebenaran ke permukaan. Seiring berjalannya waktu, 15 tahun berlalu kebebasan ini mengalami banyak dampak baik positif maupun negative. Salah satunya yaitu penyalahgunaan kebebasan pers itu sendiri. Kebebasan berpendapat yang bertanggung jawab dewasa ini jauh dari kata iya. Ada beberapa contoh kasus penyalahgunaan tersebut di media massa baik cetak, elektronik, maupun televise.
1. Adanya dugaan indikasi pelanggaran Kode Etik Jurnalistik pada kasus video porno mirip artis Ariel dan Luna Maya saat pemeriksaan di Mabes Polsri karena wartawan mengambil gambar tanpa menyensor tersangka yang dirasa melanggar HAM karena hal tersebut bisa saja berdampak pada psikologi pelaku.
2. Pelanggaran Kode Etik Jurnalistik oleh SILET karena mengemukakan hal yang belum tentu kebenaran berupa opini yang dapat membentuk opini public dalam kasus letusan Gunung Merapi yang bisa menimbulkan ketakutan berlebihan bagi yang menonton siaran tersebut.
3. Kasus Antasari uang melibatkan wanita bernama Rani oleh TV One. Dalam kasus ini yang diwawancarai hanya  kerabat Rani yang dinilai subjektif, sedangkan kasusnya saja belum begitu terang saat itu
4. Pencitraan melalui media massa terutama kepemilikan pribadi. Menjelang Pemilihan Legislatif (Pileg) 9 April 2014 lalu Partai Politik maupun kadernya berlomba- lomba melakukan pencitraan. Mulai dari media cetak, eletronik maupun televisi yang digadang- gadang tidak murah namun demi citra baik di masyarakat hal tersebut sudah begitu umum dilakukan. Parahnya, beberapa pemilik stasiun TV swasta di Indonesia malah mau mencalonkan diri sebagai Presiden. Sebenarnya hal ini tidak menjadi masalah ketika media yang dimilikinya menjalankan fungsi sebagaimana mestinya, bukan menjadi sarana pencitraan terus menerus. Entah itu iklan, kuis atau bahkan aksi social dan kampanye yang disiarkan berulang-ulang tentang si empunya TV.

Hal diatas hanya sebagian kecil dari penyalahgunaan kebebasan pers di Indonesia yang menerus terjadi kalau didiamkan. Dewan Pers kemungkinan sudah menegur bahkan menindak kasus-kasus seperti di atas namun kasus tersebut setiap harinya akan terus ada baik yang dilaporkan ke ICW maupun tidak. Maka peran sebagai Wartawan kampus, tetaplah berpegang pada kode etik Jurnalistik yang berlandaskan UUD 1945 dan Pancasila agar tercipta kebebasan PErs yang bertanggung jawab dalam memberitakan tentang kampus. Penyalahgunaan tersebut juga cenderung dilakukan wartawan yang belum professional. Apabila selama menjadi wartawan kampus sudah mulai menjalani tugas secara professional maka saat terjun ke dunia jurnalistik Indonesia akan menyesuaikan dan terbiasa professional. Hal ini dirasa dapat meminimalisir terjadinya penyalahgunaan seperti itu lagi dan lagi.

(Untuk seleksi PJTLN di UMSU)

Negara yang Tergadai


Indonesia merupakan surga tersembunyi yang menjadi paru-paru dunia. Hal itu dulunya menjadi suatu pujian yang membanggakan bagi bangsa Indonesia, namun entahlah mungkin hal itu hanya menjadi kenangan indah masa lalu. Mungkin terdengar seperti kisah cinta romantis yang penuh ironi, benar kenyataannya, Indonesia sudah tak seindah dahulu dimata dunia. Tingkat korupsi yang tinggi bahkan bisa dibilang “budaya korupsi’ yang merajalela membuat rakyatnya “mati diatas lumbung padi”. Indonesia yang dulunya sempat mengalami swasembada beras kini harus makan dengan beras import mahal yang sebenarnya Indoneisa memiliki tanah begitu luas. Sayangnya, di tanah yang begitu luas, sebagian besar wilayah Indonesia sudah dikuasai pihak asing. Meski tak lagi mengalami kerja rodi dan romusha seperti jaman penjajahan, namun kemerdekaan rakyat miskin masih saja ada. Rakyat miskin menjadi “babu” di negaranya sendiri, di Negara yang sudah merdeka.
Dahulu, dahulu sekali tepatnya 17 agusuts 1945 Indonesia memproklamirkan diri terbebas dari jajahan Negara manapun ditengah pecahnya perang dingin (Perang Dunia II). Indonesia dibawah pimpinan sosok Presiden yang gagah dan pemberani, Soekarno -salah satu pejuang kemerdekaan- Indonesia mampu memperoleh perhatian dunia melalui gerakannya -Non Blok- dengan mengadakan Konferensi Tingkat Tinggi Asia-Afrika (KTT Asia-Afrika) di Bandung saat itu. Dengan kemampuannya, beliau mampu membuat  Indonesia yang baru merdeka menjadi dipandang keberadaannya oleh dunia. Kemudian, 1967 usai lengsernya Presiden Soekarno dengan ditolaknya pertanggung jawaban oleh MPRS dan diangkatnya Presiden Soeharto sebagai Presiden Kedua Indonesia yang memimpin Indonesia dengan jangka waktu terlama, 32 tahun. Selama masa kepemimpinannya dengan Repelita (Rencana Pembangunan Lima Tahun) dan berbagai strategi kepemimpinannya beliau mampu membuat rakyat makmur selama bertahun-tahun. Sayangnya, beliau membiarkan Indonesia berhutang dengan luar negeri hingga akhirnya Indonesia mengalami Krisis Moneter di periode Kepemimpinan berikutnya. Selain itu, Soeharto yang merupakan mantan Jenderal TNI menerapkan sistem pemerintahan Otoriter sehingga semua ruang gerak rakyat dibatasi serta tak adanya transparansi dari pemerintahan. KKN ada dimana-mana bahkan tumbuh subur seperti dipupuk dan disemai. Pada masa Orde Baru tersebut HAM tidak begitu dihargai, barang siapa bersuara (berlawanan dengan pemerintahan) dianggap sebagai musuh Negara dan harus dibinasakan. Mirisnya, hal tersebut terjadi secara besar-besaran saat 1998 yang mengakibatkan meninggalnya aktivis (kampus) sebagai hasil kekejaman rezim Soeharto.
Selanjutnya, 21 Mei 1998 Soekarno diturunkan dari jabatannya oleh Mahasiswa (yang dulunya mengangkat beliau menjadi Presiden) dengan pengunduran dirinya dan Presiden Indonesia ketiga akhirnya dilantik. Sebagai wakil Presiden, Prof. Dr. Ir. Burhanudin Jusuf Habibie (BJ Habibie) naik menjadi Presiden RI Ke-3. Masa kepemimpinannya hanya berlangsung selama satu setengah tahun. Namun, pada masa pemerintahannya, lahir peraturan yang mendasar seperti kebebasan berpendapat yang seakan berbanding terbalik dengan Soeharto yang membredel banyak Media Massa yang membantah Pemerintahannya. Lalu, 1999 melalui Pemilihan Umum oleh DPR maka terpilihlah KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai Presiden Ke-4. Pada masa itu, beliau memberikan kebijakan untuk memberi ruang bagi orang maupun keturunan Tionghoa sehingga beliau dikenal dengan sebutan Bapak Pluralisme dan satu-satunya Presiden yang memberikan libur paling lama selama Ramadhan (1 Bulan penuh).  Namun kondisi kesehatan beliau yang tidak memungkinkan untuk melanjutkan tugas kepemimpinannya, maka naiklah sang darah keturunan Soekarno (anak Kandung Soekarno), Ibu Megawati Soekarno Puteri yang menjadi satu-satunya Presiden Wanita di Indonesia, 2001. Beliau memimpin Indonesia hingga September 2004 dan dikalahkan melalui Pemilu secara langsung oleh rakyat oleh Partai Demokrat dengan Presiden yang diusung, Susilo Bambang Yudhoyono. Rasa kekalahan tersebut seakan menyebabkan seakan terlihat adanya dendam kesumat dihati sang Presiden Wanita hingga jarang sekali anatara keduanya bertemu. Bahkan, saat upacara peringatan kemerdekaan RI Ibu Mega biasanya melakukan upacara di kediamannya atau di sekretariat PDI-P bukan lagi di Istana Negara meski tetap menjadi undangan sang Presiden. Setelah tiga kali mengalami masa kepemimpinan presiden yang singkat, akhirnya 2004 hingga 2014 Indonesia dipimpin sosok Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)  yang dulunya juga merupakan anggota TNI. Selama masa kepemimpinannya, dinamika dan polemik begitu banyak terjadi. Namun salah satu sisi positifnya, lahirnya KPK sebagai wadah yang mempelajari kasus korupsi serta menjadi pihak resmi yang berwenang melakukan penangkapan bagi pelaku Korupsi di Indonesia. Berbeda dengan masa pemerintahan terdahulu yang tak mempermasalahkan korupsi secara mendalam, pada masa pemerintahan  SBY siapapun harus disidik apabila terindikasi melakukan korupsi. Cerita singkat masa kepemimpinan Presiden Indonesia dapat dibilang sebagai cerminan diri agar bangsa Indonesia terus berbenah diri. Tak perlu melakukan hal besar, mulai saja dari yang sederhana saja. Belajarlah jujur dan mencintai apa yang kita punya. Indonesia ada di tangan kita, bukan ditangan mereka para elit politik busuk yang mementingkan kepentingan golongan diatas kepentingan Negara. Untuk sekedar intermezzo dengan pandangan saya, maka saya akan memaparkan pendapat saya lebih jauh mengenai masalah kepemimpinan di Negara ini.

Enam kali berganti Presiden tidak membuat Negara yang akan segera merayakan kemerdekaannya Ke-69 17 Agustus mendatang –Indonesia- menjadi jera. Sistem demokrasi yang ada mengharuskan mengadakan Pemilu lima tahun sekali. Tahun ini, 2014, menjadi kali ketiga dilaksanakannya Demokrasi secara langsung (oleh, dari dan untuk rakyat) melalui pemilu langsung yang dipilih oleh rakyat. Pun tiga kali sudah digelar, kekurangan disana-sini masih dirasa banyak, apalagi kecurangan. Pemilihan Legislatif (Pileg) yang berlangsung pada 9 April 2014 sudah berlalu dan memunculkan babak baru, Partai pemenang Pileg berhak menentukan Calon Presiden yang akan maju di Pemilihan Presiden (Pilpres) 9 Juli 2014 mendatang. Koalisi partai terus terjadi, entah atas dasar apa mereka melakukan koalisi. Namun jika ditanya, jawabnnya pastilah untuk Negara ini. Kepentingan Negara diatas kepentingan golongan  itu sepertinya hal tabuh dewasa ini. Semua melakukan pencitraan agar Bakal Calon Presiden (Bacapres) dan wakilnya yang dipilih dengan mengawinkan tujuan melalui koalisi dapat terpilih di Pilpres mendatang.
Mengusik masalah kepemimpinan, bukan hanya sekarang, pada masa keenam Presiden kita terdahulu pun (termasuk SBY) tidak serta merta naik dengan mudah menjadi Presiden. Adanya politisasi segala macam hal dan permainan elit politik lahir, tumbuh dan berkembang. Kesengsaraan, dan kemiskinan masih menjadi PR besar bagi bangsa ini. Perpecahan akibat isu SARA tumbuh subur di Poso dan wilayah lainnya diseluruh penjuru negeri. Mungkin Presiden terlalu sibuk, sehingga ditengah-tengah konflik yang berkepanjangan kepentingan politik masih diutamakan. Maklum, diantara para Presiden ada yang usungan partai, atau sekedar permainan politik untuk mempertahankan kekuasaan. Tidak menyalahkan mereka, namun tak pula membenarkannya. Sebagai warga Negara, tugas Bela Negara ada ditangan tiap-tiap Warga Negara Indonesia dimana pun berada. Jangan salahkan kami, kaum minoritas yang menuntut hak keadilan, bukan malah wakil rakyat yang sudah mampu mewakili rakyat dengan baik. Rakyat ingin kaya, sudah diwakili. Rakyat ingin sejahtera dan berpendidikan pun sudah diwakili para wakil rakyat. Nah, lalu kenapa saya menuliskan ini? Entahlah, saya hanya seorang Jurnalis kampus, saya tidak takut akan tekanan tapi saya masih memikirkan keluarga saya. Mungkin kejadian 1998 secara terang-terangan tidak akan lagi terjadi, namun hal tersebut masih akan terus terjadi ketika mulut mengatakan apa yang dilihat mata, didengar telinga dan dirasakan dari hati tentang negeri ini, negeri kaya ditengah tangan perampok. Negeri yang tergadai.

Melanjutkan isu Pilpres, sekarang bulan Mei, itu artinya tidak sampai 2 bulan lagi kita akan memilih sang pemilik Hak Eksekutif di Negeri  pemilik asap yang mengganggu akibat rakusnya manusia di tanah ini. Ya, saat ini ada dua nama calon penerus pemerintahan SBY-Budiono (yang entah apa tugasnya selama 5 tahun ini) yang kemungkinan maju di Pileg mendatang. Jokowi-JK sapaan akrab bakal calon Presiden dan Wakil Presiden yang diusung partai PDIP dan para partai koalisinya dan Prabowo-Hatta yang diusung Gerindra. Jokowi, sang Walikota Solo yang maju di Pilkada DKI Jakarta dan Oktober 2012 lalu dilantik sebagai Gubernur DKI Jakarta didampingi Ahok sebagai wakilnya. Belum dua tahun masa kepemimpinannya yang digadang-gadang “blusukan”, ia menerima tawaran Kursi Presiden dari sang Ketua Umum PDIP yang juga  mantan Presiden. Lalu, melalui diskusi yang mengeluarkan nama JK dari PKB sebagai Wakil dari Jokowi menimbulkan banyak spekulasi. Ditengah-tengah majunya pasangan ini terkuak isu SARA yang menyebutkan bahwasanya Jokowi merupakan seorang Chinesse yang beragamakan Kristen dan menjanjikan Kristenisasi untuk Rakyat Indonesia apabila ia terpilih. Seperti yang kita ketahui, beliau merupakan seorang Muslim meskipun kepatuhannya beribadah pun diragukan. Terbukti saat ia melakukan sidak di salah satu kantor Dinas di Jakarta saat Sholat Jumat yang seharusnya Jokowi berada di Masjid bukan malah “mencak-mencak” saat pegawainya sedang berisitirahat dan bukan membolos dari tugas kantor. Mengenai kebenaran masalah Sholat Jumat ini saya membaca sendiri berita ini di salah satu media online dan mengenai isu sara tersebut saya tahu dari Broadcast Blackberry Messenger. Bukan hanya itu, sebagai alibi untuk meyakinkan kebenaran atas hal itu, ada pula rekaman Jokowi yang kagok menjawab tentang pertanyaan yang mendasar tentang Islam kepada sang Gubernur. Memang terdengar tidak etis, isu SARA diangkat kepermukaan sebagai sarana menjatuhkan Jokowi tapi ini benar terjadi. Tinggal bagaimana kepandaian kita menilai pribadinya. Saya hany mengulik isu yang dihadapi Jokowi saja yang menurut saya menarik untuk ditelaah atau sekedar dilewatkan oleh orang lainnya.
Kemudian, calon satunya yakni Prabowo-Hatta. Kalau calon yang satu ini ada juga isu yang dikembangkan di Publik untuk menjatuhkan pasangan ini. Seperti halnya kelemahan-kelemahan Prabowo dibanding Jokowi yang beredar di Broadcast Blackberry Messenger. Salah satu hal lucu, namun ada pula yang versi menghina tentang Prabowo yang masih “jomblo”. Dalam pesan yang saya baca tersebut  menyebutkan bahwa keberadaan sang istri yang tak jelas. Lalu, pada masalah besarnya –isu 1998- yang terus menyebutkan bahwa Prabowo sebagai otak dari terjadinya kekejian dimasa itu. Sedangkan di pengadilan sudah menyatakan bahwa Prabowo tak bersalah.

Entahlah, yang satu SARA dan satunya HAM.  Siapa yang mau hak pilih ini menjadi salah dan tak bermanfaat. Jangan buat pilihan ini tergadai diatas kepentingan politik. Indonesia butuh pemimpin yang bisa menjadikan negeri ini semakin baik dan terus mengalami perbaikan dan revolusi karakter. Sosok yang bisa mencetak generasi emas untuk kemajuan bangsa ini. Siapapun dia, yang terpenting sosoknya bisa memimpin Negeri “mahsyur” ini bukan “menggadaikan” dan menjual emas diatas tanah berlumpur. 


Palembang, 24 Mei 2014
(untuk selekasi Workshop Sejuk.org)