Sebenarnya
ini cerita biasa, bahkan sangat biasa. Biasanya hal ini dialami oleh orang yang
baru bangun tidur. Yang membuatnya menjadi tak biasa ialah keadaan sekitar saat
bangun tidur. Ya, saya terbangun dengan keadaan yang cukup asing. Baru saling
kenal.
Hari itu
Jumat, tepatnya 6 Juni 2014, saya masih ingat sekali. Saya sedang duduk teramat
manis di sebuah Hotel di kota kembang, Bandung. Meskipun saya manis, saya tak
sendirian karena saya berada dihotel bersama 30 peserta Workshop lainnya dari
berbagai kota. Sekedar informasi, saya adalah satu dari empat orang wakil Pulau
Sumatera. Iya, saya orang Sumatera yang paling cantik dirumah saya (maksa). Lalu
kemudian, saya dan yang lainnya sibuk memilih lokasi untuk meliput keberagaman.
Kebetulan, workshop saat itu mengenai keberagaman, cukup sesuai dengan keadaan
31 peserta yang beragam pula. Akhirnya, saya memilih Gereja bersama 9 orang
teman lainnya. Brumm.. brumm.. brumm..
Kami bersembilan menyebut diri kami Jemaat Gereja, walau sebenarnya kami
bersembilan Muslim. Oh, sungguh indahnya
keberagaman. Menelurusi jalanan Bandung dengan angkot memberikan pengalaman
tersendiri bagi kami untuk lebih mengakrabkan diri. Saya khususnya, bersama 4
dari Sembilan teman membentuk kelompok yang membahas mengenai “langkah kuratif”
Gereja Kristen Pasundan (GKP) pasca pengrusakan yang mereka alami di Jawa
Barat. Pengalaman meliput keberagaman bagi saya, dan sungguh luar biasa. Perjalanan
panjang pun berakhir di Hotel saat Adzan Maghrib berkumandang. Alhamdulillah, bisa sholat di Hotel.
Malam pun
tiba. Usai mandi, Sholat dan makan malam bersama kami semua kembali dikumpulkan
di aula. Tempat yang selalu menjadikan saya teramat manis, duduk diam diatas kursi.
Kali ini saya sudah tahu nama anggota kelompok saya. Baik akan saya kenalkan,
tenang. Ada Mbak Husna dari Bekasi, Endah dari Semarang, Saya (Sheilla) dari
Palembang, dan ada Duo Maia, eh salah, maksudnya Duo Malang, si Ipung dan Umam.
Sebenarnya sudah kenalan di awal pembagian kelompok. Namun malam itu menjadikan
kami lebih mengenal. Jam delapan malam semua berkumpul dan mendapat arahan
untuk menulis features tentang
liputan keberagaman tadi. Sebelum semua berkumpul, saya menemukan sosok Umam
masih mengenakan batik yang sama saat ke Gereja. Spontan saya bertanya, “Eh,
kamu belum mandi ya?”. Belakangan saya ketahui, bahwa pertanyaan itu sangat
aneh cerita Umam ke saya. Maaf ya Umam jikalau saya terlalu jujur hehe .. Lucunya,
meski sudah saya buat dia mati gaya, malah kami banyak bercerita. Jadilah saya
tahu tentang rahasia bajunya yang Cuma ada dua lembar. Saya yang jahil semakin
menjadi mengolok-ngolok dia.
Satu jam
berselang, semuanya telah berkumpul meski lewat dari jam delapan malam tepat. Akhirnya,
kami berlima bersepakat mengerjakan features
kami di lobi hotel. Semuanya turun kebawah. Tapi ada dua yang naik lagi keatas,
saya dan Ipung. Kalau si ipung mau mandi (ngapain aja ya sedari maghrib sampe
jam delapan belum mandi), nah inilah saat yang saya suka, makan. Saya membawa
dua piring berisi cemilan. Yang sebenarnya jumlahnya lebih banyak dari kelompok
kami. Saya mengambil tiga sampai lima buah mini burger gratis. Terima kasih
Tuhan, bisa makan gratis (lagi dan lagi). Ada empat orang akhirnya stay di bawah, termasuk saya usai
mengurus cemilan ini itu diatas, lantai tiga. Bingung, stuck dan entah mau nulis apa. Kami malah cerita sana-sini. Kecuali
Umam yang terus nonton TV dan Ipung yang masih ngapa-ngapain enggak tahu
lagi apa dikamar. Saya sih mencium bau-bau Ipung tidur dikamar. Alhamdulillah kecurigaan saya salah,
sekitar setengah jam Ipung pun menyusul kami. Kami tetap tidak menulis apapun. Semakin
malam semakin dingin, akhirnya kami mendapat mukjizat untuk menulis. Lebih
tepatnya Ipung dan Mbak Husna saja. Endah menulis di laptop, kemudian direvisi
mereka berdua, dan saya turut bilang “Yes” atau “No” saja ditiap kalimat. Indahnya
berkelompok dengan orang rajin. Hahahahaahaha (ketawa hina, karena enggak bisa
bantu banyak).
Dan terjadilah
tragedi itu. Karena saya sudah ngobrol cukup banyak dengan Umam akhirnya kami
menghabiskan waktu dilobi hanya untuk bercanda tanpa membantu mengerjakan features sama sekali. Dan saya pun
lelah. Sekitar jam dua belas malam, lobi sudah sepi, bahkan Endah sudah tidur
dikamarnya. Tapi kami tetap berlima, ada Usman yang duduk bersama kami. Saat itu
mata saya sudah begitu lelah. Maaf saya duluan. Sambil tertidur di Sofa lobi
saya menikmati angina malam. Ini pertama dalam hidup saya, tidur di lobi hotel.
Dan jangan lagi-lagi. Mbak Husna dan Ipung memang tangguh, keduanya terus
menulis. ditengah tidur yang cukup lelap saya pun terbangun. Jam dua dini hari
Mbak Husna pun membangunkan saya. Tulisan dilanjutkan besok. Saya yang tertidur
mulai membuka mata. Sayang sekali, orang yang bangun tidur pasti mengalami syndrome aneh, syndrome bangun tidur. Ada dua
hal yang mengejutkan saya, yaitu :
1. 1. Saat terbangun saya mendapati pemandangan sangat
tidak mengenakan. Saya ditiduri Umam. Eitsssss, jangan ambigu dulu. Saat saya
terbangun, saya melihat si Umam berada diatas tubuh saya yang terlentang di
sofa. Untungnya diatas tubuh saya ada banyak bantal menutupi. Jadi, kami berdua
tidak sama sekali bersentuhan. Hanya saja posisi tubuh kami sejajar dan hanya
dipisahkan bantal. Kami baru saling mengenal. Ya Tuhan, ampuni aku yang tidur
semabrangan.
2. Saat yang bersamaan, saya ngomel-ngomel tidak
terima dengan pemandangan tersebut. Parahnya, Umam hanya menampakkan muka biasa
saja. Sedangkan itu semua pasti salah dia. Dia tahu saya tidur disana. Saat itu
dia nonton TV dekat kaki saya. Harusnya kalau mau tidur di sofa, bisa duduk
atau pindah ke sofa lain. Tapi dia memilih tidur diatas tubuh bantal yang
dibawahnya ada saya. Tak heran kalau kami menyebutnya figuran. Karena ia hanya
menonton Tv tanpa membantu. Malah menimpa saya saat tidur. Lalu saya berusaha
bangkit dari keadaan aneh disekitar orang “asing” dengan muka bangun tidur
seadanya. Lagi, hal tak baik menemui saya. Kaki saya kram, mungkin akibat
terlalu lama ditimpa jadi sangatlah berat. Saya langsung mengira kaki saya
lumpuh. Lebay. Saya mau saja menangis sejadinya, tapi saya malu karena mungkin
saja saya akan terlihat aneh. Saya sulit berdiri dan berjalan. Dan akhirnya
Ipung menjadi Pahlawan kesiangan ke-dini hari-an. Dengan sigap dia
menanyakan mana yang sakit. Awalnya saya kira dia benar-benar pahlawan. Tapi saya
salah. Dia menarik kaki saya setelah sempat memijitnya beberapa saat. Sudah sakit
bertambah sakit pula. Jadilah saya semakin menggerutu. Usman hanya tertawa dan
yang lain hanya menatap saya-mungkin- dengan tatapan aneh. Untungnya enggak ada foto-foto yang mereka
ambil saat itu. Sampai sekarang, si Ipung selalu ngingetin saya kejadian ini. Dan
rasanya ada lucu, aneh, malu, tapi ini berkesan.
Berkat peristiwa kaki kram sehabis bangun tidur dengan muka
yang aneh dan ngomel-ngomel itu saya jadi sering berkomunikasi dengan
teman-teman sekelompok saya tersebut. Terutama Ipung dan Umam. Ya, walaupun
akhir-akhir ini enggak tahu si Umam apa kabarnya. Kabar baiknya, si Ipung yang dulunya
tukang Pijit mijitin kaki yang “kram” udah mau rilis buku. Lain kali kita
ketemu dalam keadaan lebih baik, tanpa tidur sembarangan, tanpa ngomel-ngomel
dan tanpa kaki KRAM lagi.
TAMAT
(No Edit, Males Ngedit)