Surat
ini saya tulis pukul 22.55 WIB pada hari Selasa, 22 Juli 2014 usai penyampaian
pidato kemenangan Bapak Presiden RI Terpilih periode 2014-2019, Joko Widodo. Saya sengaja
menunggu pidato tersebut selesai supaya adil, mendengarkan kedua calon presiden
berpidato dihari yang sama. Sebelumnya, saat sore hari, Bapak yang saya dukung,
Prabowo, telah menyatakan mundur dari rekapitulasi Nasional oleh KPU sekaligus
menarik diri dari Pilpres 2014.
Inilah
kisah awal saya menanggapi pencalonan beliau. Pada 2009 lalu, itulah kali
pertama saya mendengar nama Bapak Prabowo Subianto sebagai calon Wakil Presiden
dari Bu Megawati Soekarnao Putri. Beliau berasal dari Partai Politik baru dikancah
politik Indonesia. Saat itu saya baru masuk SMA, dan belum memiliki hak untuk
memilih presiden. Kemudian tahun selanjutnya, sama sekali saya tidak mencari
tahu siapa beliau. Lama dan cukup lama. Juni 2013 menjadi titik awal saya mulai
mendengar lagi kalau beliau akan mencalonkan diri sebagai presiden. Saat itu,
saya dan keluarga yang merupakan anggota Partai Gerakan Indonesia Raya
(Gerindra), khususnya saya yang dilantik sebagai Sekretaris Ranting Kelurahan
Lawang Kidul, Kecamatan Ilir Timur II Palembang, sumatera Selatan. Aula Sriwijaya Sport Centre jadi saksinya, semua
berseru “Prabowo Presiden”. Dan kembali lagi, hanya saat itu saja saya
mendengarnya. Kebetulan saya seorang Jurnalis Majalah Remaja sekaligus Jurnalis
Kampus, saya lebih tertarik dengan isu yang tak berbau politik.
Hampir satu tahun berlalu,
tepatnya sekitar Maret 2014 saya membaca akun @TrioMacan2000 yang menyebutkan
bahwa Presiden terpilih 2014 pada Juli 2014 ialah Prabowo Subianto, alih-alih
menjadi Presiden yang baik, malah ditweet-tweet
nya diketahui bahwa Prabowo sebagai “badan” bagi para Koruptor yang turun
tahta. Saat itu pula saya menjadi “kurang respect”. Bodohnya saya, cepat
tersugesti tanpa mencari tahu dahulu. Bahkan, saya baru tahu desas-desus kasus ’98
melibatkan nama Bapak saat menjelang Pilpres. Tapi itu dulu pak, saat saya
masih buta “siapa Bapak”
Akhirnya
saya tahu Bapak, dan saya yakin dengan Bapak. Menjelang libur kuliah (Mei 2014)
saya tidak punya uang untuk mengikuti kegiatan Jurnalistik Kampus di Medan. Hingga
akhirnya saya memilih untuk mengikuti kegiatan lain di Bandung (5-7 Juni 2014).
Salah satu syaratnya yaitu membuat esai tentang keberagaman. Saat itu sekitar
20 Mei 2014, hingga saya memutuskan untuk menuliskan “Isu
SARA di Pilpres”, meski akhirnya harus di revisi. Sebelumnya, saat pertengahan Mei saya cukup banyak menerima informaqsi tentang kedua calon. Tapi hati saya tertuju kepada beliau, Pak Prabowo. Saat saya menulis, saya ingin mengklarifikasi mengenai “tuduhan” kasus ’98 tersebut. Menurut sekian banyak informasi yang say abaca, saya begitu yakin Bapak bukan “pelaku” dari kasus tersebut. Meski hal tersebut tidak begitu memperoleh respon balik yang baik. Saya percaya, orang baik akan selalu dijaga Tuhan. Kemudia, saat diminta revisi saya dijejali artikel tentang Beliau dan Pak Jokowi agar isi esai berimbang dan tidak memihak satu pihak. Namun tetap saja saya menekankan bahwa Pak Prabowo hanya korban.
SARA di Pilpres”, meski akhirnya harus di revisi. Sebelumnya, saat pertengahan Mei saya cukup banyak menerima informaqsi tentang kedua calon. Tapi hati saya tertuju kepada beliau, Pak Prabowo. Saat saya menulis, saya ingin mengklarifikasi mengenai “tuduhan” kasus ’98 tersebut. Menurut sekian banyak informasi yang say abaca, saya begitu yakin Bapak bukan “pelaku” dari kasus tersebut. Meski hal tersebut tidak begitu memperoleh respon balik yang baik. Saya percaya, orang baik akan selalu dijaga Tuhan. Kemudia, saat diminta revisi saya dijejali artikel tentang Beliau dan Pak Jokowi agar isi esai berimbang dan tidak memihak satu pihak. Namun tetap saja saya menekankan bahwa Pak Prabowo hanya korban.
Setelah acara di Bandung tersebut
saya pulang ke Palembang dan terus mencari informasi tentang Bapak. Saya selalu
mengikuti Debat Capres, mencari informasi di Internet, bertanya kepada
teman-teman mahasiswa Hukum, dan semua sumber yang menurut saya bisa
dipertanggungjawabkan. Semakin hari, rasa kagum, cinta, dan dukungan saya
terhadap Bapak kian memuncak. Hingga ajakan untuk memilih pasangan lawan Bapak
terus saya tolak secara halus. Sejujurnya, saya bukan orang yang mengumbar
pilihan di muka umum. Bagi saya, pilihan adalah hak pribadi, namun saya
berkampanye dengan cara saya, diskusi. Penolakan terus datang, tapi saya yakin
dan percaya Bapak pasti banyak dipilih orang. Kenapa? Karena taka da manusia
sebaik dan setulus hati Bapak. Saya teramat sangat kagum Pak. Saya pun
bersyukur, oramg sekitar saya memilih Bapak. Dan di TPS tempat saya memilih
Bapak yang menang. Alhamdulillah, akhirnya 9 Juli dilalui dengan baik.
Kemudian, ada waktu cukup panjang
(10-22 Juli) sebagai masa penghitungan suara (real count), dimasa itu, Bapak terus mengawal pemilu dan tetap
beramal. Sama seperti biasa. Bapak orang baik, Bapak menyumbang 1 Miliyar Rupiah untuk saudara di Gaza
yang merupakan korban kekejaman Israel. Saat dimana orang-orang masih sibuk
dengan pemilu. Bapak sudah banyak membantu Indonesia melalui banyak hal, tapi
Bapak tak gila pencitraan. Inilah kesederhanaan sesungguhnya. Semangat mengagumi
sosok Bapak tak akan pernah hilang. Saya bangga pernah memiliki Calon Presiden
sehebat Bapak.
Pak,
jangan pernah bersedih. Meskipun mungkin hati Bapak sakit akibat menerima
cacian dari orang yang Kontra terhadap Bapak tiap harinya. Tapi saya tahu Bapak
bukan orang lemah. Bapak difitnah dan dipersalahkan pun, Bapak tak gentar. Buktinya,
Bapak berani mencalonkan diri setelah 5 tahun mendirikan Partai Politik. Puncaknya
hari ini, saya sedih Pak. Saya sedih dengan Lembaga Negara yang terindikasi
tidak jujur. Saya tahu Pak, bahkan kalau saya jadi Bapak, akan melakukan hal
yang sama. Saya pun tak mau menerima kekalahan dari kecurangan. Bukan soal
menang kalah, namun apalah artinya kemenangan bila diraih dengan
ketidakjujuran. Mungkin akan banyak orang yang kembali mempersalahkan Bapak. Bahkan
mungkin, Koalisi Permanen pun akan bubar. Tapi percayalah Pak, saya, satu
diantara puluhan juta penyumbang suara untuk Bapak. Saya selalu berharap agar
Bapak tidak sakit hati dengan semua ini. Agar Bapak akan tetap mengabdi untuk
Indonesia, sekalipun bukan sebagai Presiden. Biarlah kebaikan Bapak hanya
dibalas allah. Percayalah Pak, saat kita menanam benih kebaikan, saat itu juga
tumbuh akar “balas budi” yang suatu saat akan sangat membantu Bapak. Biarlah Bapak
menjadi diri bapak sendiri, percayalah, kami pendukung Bapak harus terima (suka
atau pun tidak) atas terpilihnya Presiden. Tapi kami akan terus mendukung
segala kebaikan Bapak dan berharap kebaikan tersebut menular ke diri kami.
Biarlah Pak, Negara ini dipimpin
leh orang lain. yang penting Nasionalisme diri Bapak masih berakar kuat, dan
sikap Kenegarawanan dan Ksatria Bapak tetap tumbuh dan berkembang. Biarkan ia
yang berjanji akan melakukan “Revolusi Mental” membuktikan semua perkataannya. Semoga
saja itu benar dan membawa kebaikan untuk Negara ini. Damai Indonesiaku
Salam
dari saya,
Sheilla
Andriani Rizky
Posting Komentar