Mesin Penterjemah

Mahkota Yang Hilang Ditelan Kematian




Awal  dalam suatu akhir

        Pagi yang cerah seperti biasanya, lalu kubuka mataku secara perlahan karena kantuk masih menyerang diriku. Malas sekali rasanya aku untuk bangun pagi, biasanya dihari  minggu aku selalu bangun setelah matahari diatas kepala. Drrtt.. drttt.. drrttt... getaran handphone memecahkan konseterasiku yang baru saja membuka mata. Sepertinya ada sms penting bisikku dalam hati. Prakkk, handphone-ku pun terjatuh seketika. Akupun mulai terhenyak, rasanya dadaku sesak sekali dan tak terkira. Air mata jatuh dari pelupuk mata yang sebenarnya tak mau membuka ini. “Innalillahi....  Wa’inailai..... hiroji’un” suaraku seketika keluar dengan terbata-bata. Yang ada di otakku hanyalah bertanya-tanya kenapa ini terjadi kepadaku. Aku kehilangan seseorang yang mulai kusayangi. Aku sudah mulai mencintainya, tapi aku belum sempat memberikannya perhatian lebih. Terdiam aku berjam-jam diatas tempat tidur dan terus menangis. Ya, aku harus berlalu dari sini!
        Mataku sudah mulai bengkak, tapi aku harus terus tampakkan ketabahan walau sebenarnya aku belum bahkan tidak bisa menerima ini. Kakiku rasanya enggan pergi keperistirahatan terakhirnya. Satu langkah saja membutuhkan hampir setengah menit kuhabiskan, ya tapi aku harus lakukan itu. Beberapa jam pun aku baru sampai ke tempat itu. Tak sadar aku sudah berapa jam kuhabiskan dengan percuma tanpa berbuat apa-apa. Kulihat paras ibunya, sungguh aku tak tega melihat itu, melihat tangisan kesedihan melepaskan ia keperistirahtan terakhir. Rasanya ingin sekali aku menjerit dan menangis sekuat-kuatnya. Semakin sesak jantung ini, akupun melihat ibunya terus menangis, secara refleks aku mendekatinya lalu aku memeluk dan membisikkan “sabar  bu, mungkin ini sudah jalannya kita harus ikhlas” dengan pelan kubisikkan hal itu. “Iya nak, ibu insya’allah ikhlas tapi untuk saat ini ibu masih merasa belum percaya. Nak, kamu temannya yang selalu menjaga dia dirumah sakit itu kan? Dia punya pesan untukmu. Nanti sepulang dari sini atau besok kerumah ya. Dia ingin kamu saja yang membaca buku harian dia” sahut ibunya dengan pelan, penuh kasih sayang namun tak dapat ditutupi aroma kesedihan didalam suaranya. Aku semakin merasa aneh, kenapa semua kejadian ini menyerangku. Aku hanya orang yang baru mulai mencintai pribadinya, bukan siapa-siapa bagi dia yang menurutku mungkin belum begitu berarti tapi ia memercayaiku. Apapun yang terjadi setidaknya aku harus berpikir positif dan realistis sajalah. Semangat ! itu yang hanya bisa kutanamkan dihatiku.
        Tak terasa waktu telah menunjukkan waktu dzuhur, tempat pemakaman mulai sepi tapi aku terus menatapi  batu nisan. Setelah semua pergi, akupun memegangi batu nisan itu dengan erat dan terus mengingat dan mengingat raut wajahmy disaat-saat terakhir aku melihatnya. Yang kuingat hanyalah raut wajahnya yang lusuh dan pucat disertai jarum infus ditangan serta tabung oksigen menemaninya. Aku ingin sekali mengulang masa-masa indah saat bersamanya, saat duduk di taman rumah sakit, saat menyuapinya makan. Wahai sahabat baruku aku akan selalu mengenang dirimu sekarang dan akan selamanya. Sepertinya aku sudah terlalu lelah akibat menangis dari pagi hingga siang, baiklah aku harus pulang untuk beristirahat.
        Mentari muncul kembali, rasanya aku malas kembali untuk bangun tidur, kali ini bukan karena hari minggu melainkan karena aku malas mengingat hal yang baru saja terjadi dalam hidupku sejak kemarin pagi. Sambil bermalas-malasan tiba-tiba aku ingat ada pesan terakhirnya. “Ah, untuk hari ini aku bolos saja sekolah. Aku ingin menikmati pagi ini dirumah dia bersama ibunya yang masih terpukul” ucapku dalam hati. Lalu, akupun bergegas berpakaian sekolah seolah mau belajar seperti biasa. Sekolah yang arahnya ke selatan rumahku untuk hari ini berpindah ke arah timur. Ya, aku bersekolah kerumah dia.
        “Assalamu’alaikum” ucapku dengan nada hati-hati. Krekkkk “Wa’alaikumsalam. Siapa?” jawab ibunya seraya membuka pintu. “Saya Dinda bu, teman Trias yang kemarin ibu minta kerumah saat menghadiri pemakaman Trias. Ohya, maaf juga sebelumnya bu semalam saya enggak bisa menghadiri tahlilan Trias” jawabku lagi-lagi dengan penuh hati-hati. Senyumnya mulai terlihat dimuka sendunya, “Oh iya nak, mari masuk! Tapi kok kamu pakai baju seragam sekolah? Apa kamu bolos nak?” ucap ibunya sambil mencemaskan aku yang sebenarnya memang bolos sekolah. Akupun belum menjawab pertanyaan itu dan tertunduk, melihat itu mungkin ibu mengerti perasaanku. Ibu berlalu ke belakang dan menyiapkan minum. Lagi-lagi ibunya menanyakan hal yang sama dan akupun mau tak mau menjawab. “Iya bu, saya bolos sekolah. Hati saya belum tenang kalau belum tahu apa pesan terakhirnya. Maaf ya bu, bukannya mau membuat ibu cemas atau merasa tidak enak. Kalaupun saya sekolah tapi hati saya masih disini” jawabku sambil menunduk. Aku takut mau mendengarkan jawaban selanjutnya, sambil menunduk aku menutup mata dengan penuh perasaan yang kacau balau. Ada suara langkah kaki yang menjauh dariku, ternyata itu langkah kaki ibu yang menuju ke kamar Trias. Ya, Trias adalah salah satu teman perempuanku dikelas yang dulunya bukan siapa-siapa bagiku tapi setelah ia sakit parah aku jadi begitu dekat dengannya. Bukan karena ia sakit aku baru berteman dengannya. Tapi selama ini ia terlalu menutup diri dari semua teman-teman disekolah. Bahkan untuk tahu rumahnya butuh usaha keras karena tak ada satupun yang tahu dimana dia tinggal. Tapi itu tidak lagi setelah aku dan teman-teman meminta alamat Trias ke pihak sekolah karena sudah dua minggu tidak ada kabar beritanya dan tak hadir-hadir disekolah. Ternyata Trias mengidap penyakit langka yang bahkan aku tidak bisa melafalkan nama penyakitnya dengan benar. Trias juga bahkan selalu bergaul dengan anak-anak yang liar dan jarang pulang kata ibunya. “Nak” ucap ibunya, dan seketika saja lamunanku tentang Trias hilang tak berbekas. “Eh, ibu. Kenapa bu?” sambutku ringan. “Ini buku harian yang ibu maksud. Katanya jangan ada yang membaca ini selain kamu. Apapun isinya ibu percayakan sama kamu nak. Semoga ini bermanfaat ya nak” ucap ibunya dengan lembut namun penuh keyakinan. “Tapi bu, apa saya pantas menerima ini?” “Sudah ambil saja nak, kalau kamu ragu coba kamu baca saja disini mungkin dia ada pesan khusus buat ibu” seraya ibu berbicara begitu terjatuh pula kertas dari diary itu. Kertas apa ini pikirku cepat. Akupun langsung mengambil kertas itu lalu membacanya dalam hati.

        Dear Adinda, kakakku tersayang
Lewat kakakku yang cantik dan luar biasa aku ingin menyampaikan beberapa hal. Tapi berjanjilah terlebih dahulu untuk tidak menangis saat membaca surat ini! Adinda, kamu memang bukan kakak kandungku, karena aku memang tak punya saudara kandung. Aku hanya anak tunggal yang mungkin kurang beruntung. Aku lahir dari keluarga broken home dan akupun mengidap penyakit langka. Aku menulis surat ini beberapa hari sebelum aku meninggal (mungkin) dan saat membaca ini pastilah aku sudah pergi (aku yakin itu) aku ingin engkau menjadi perantaraku dlam menyampaikan kisah hdiupku karena aku tahu kau adalah penulis yang handal. Beritahukan segala kisah hidupku kepada ibuku setelah diary ini menjadi buku karyamu, jangan kau sampaikan apapun kepada ibuku sebelum hal itu terwujud. Kau cukup memperlihatkan surat ini. Aku memercayaimu kakakku dan terima kasih untuk hari bersamamu dalam akhir hidupku. Terimakasih Dinda, terima kasih Ibu semua kisahku akan selalu dikenang dalam buku karya Adinda dengan judul Mahkota Yang Hilang Ditelan Kematian.
                                                                        Selamat jalan kakak J  
Kuperlihatkan surat itu kepada ibunya, dan kamipun hanya terdiam dan tak saling menatap. Suasana begitu dingin, mungkin ibunya sedih karena bukan dia yang terpilih sebagai orang pertama dan satu-satunya yang tahu akan kisah pribadi hidup anaknya. Aku mencoba mencairkan suasana, akhirnya akupun pamit pulang dan mulai memahami apa maksud dari semua ini
                                                                        Bersambung ......